Sewaktu kita kecil, tentunya ibu
kita mengajarkan kita berbicara dengan bahasa daerah. Saya ingat ketika baru
menginjak usia satu tahun, ibu mengajarkan saya bahasa Sunda. Melihat saya
sudah pandai mengucapkan beberapa kata, terlihat binarnya mata ibu. Lambat laun
saya akhirnya bisa berbahasa Sunda. Bahasa Sunda merupakan bahasa Ibu bagi saya. Hal
ini karena begitu lahir Ibu berkomunikasi dengan saya menggunakan bahasa Sunda.
Di
lingkungan masyarakat, tak sedikit masyarakat mengajak berkomunikasi dengan
saya dengan bahasa Indonesia. Ketika masuk SD, bahasa Indonesia saya pelajari sebagai
bahasa nasional. Begitu pun bahasa Sunda juga saya pelajari sebagai muatan lokal
Jawa Barat.
Seiring
berjalannya waktu, saya pun mulai belajar bahasa asing, yaitu bahasa Inggris. Dari
SD hingga kuliah semester enam, saya merasa belum mengerti untuk apa ketiga
bahasa ini saya pelajari. Bahasa Indonesia dan bahasa Sunda hanya saya gunakan
untuk berkomunikasi sehari-hari dengan orang-orang. Malah, untuk bahasa Sunda
sendiri saya gunakan untuk bercakap-cakap dengan teman-teman satu jurusan. Sedangkan
untuk bahasa Inggris saya merasa enggan untuk memperdalamnya. Ya, saya
menganggapnya seperti musuh. Entah mengapa disaat ingin melafalkannya pun malah
jadi tertawaan diri sendiri.
Seiring
dengan berjalannya waktu, pola pikir saya terhadap bahasa asing yang bisa dibilang
wajib ini berubah. Apanya yang berubah? Dahulu, anggapan saya bahasa yang satu ini
tidaklah penting. Seiring dengan tuntutan pekerjaan, akhirnya mau tidak mau
saya harus mendalaminya. Berawal dari hal tersebut, tersirat dalam benak saya mengumpamakan
ketiga bahasa yang pernah saya pelajari ini ke dalam sebuah rumah. Bahasa Sunda
saya umpamakan sebagai pondasi, dilanjut dengan bahasa Indonesia sebagai tembok
dan betonnya. Sedangkan bahasa Inggris sebagai atapnya. Apa maknanya? Makna dari
ketiga bahasa ini adalah:
1) Bahasa
Sunda sebagai pondasi. Makna dari perumpamaan ini adalah kekuatan budaya. Apabila
seseorang telah mengetahui dan menerapkan kearifan lokal daerahnya, maka
cukuplah baginya untuk dapat hidup di daerah tersebut.
2) Bahasa
Sunda sebagai tembok dan beton. Maknanya
adalah apabila seseorang telah terbiasa dengan kearifan lokalnya, mereka
tinggal membangun nasionalisme di negeri yang Bhineka Tunggal Ika ini. Dengan bantuan bahasa Indonesia, orang Sunda
bisa berkomunikasi dengan orang Jawa, Batak, dan suku lainnya di Indonesia.
3) Bahasa
Inggris sebagai atap. Maknanya? Ketika
seseorang telah memiliki kecakapan dalam berbahasa Inggris, maka orang tersebut
memiliki peluang untuk dapat memperkenalkan kebudayaan lokal daerahnya kepada
dunia Internasional. Ya, inilah modal dasar untuk mengenalkan budaya bangsa
kepada dunia. Apabila kita dapat mengenalkan budaya kita kepada dunia
internasional, maka lambat laun budaya tersebut akan dikenal setidaknya oleh
masyarakat internasional.
Apabila ketiga bahasa ini telah dikuasai dengan baik, diibaratkan sebuah rumah tadi, orang tersebut telah memiliki rumah yang kokoh. Mungkin kita sering melihat banyak orang yang terkadang congak karena fasih dalam berbahasa Inggris. Sedangkan dirinya memandang sebelah mata pada bahasa daerah. Menurut saya ini suatu anggapan yang perlu diluruskan, karena bahasa Daerah merupakan warisan budaya dan kekayaan bangsa yang wajib dilestarikan.
Apabila ketiga bahasa ini telah dikuasai dengan baik, diibaratkan sebuah rumah tadi, orang tersebut telah memiliki rumah yang kokoh. Mungkin kita sering melihat banyak orang yang terkadang congak karena fasih dalam berbahasa Inggris. Sedangkan dirinya memandang sebelah mata pada bahasa daerah. Menurut saya ini suatu anggapan yang perlu diluruskan, karena bahasa Daerah merupakan warisan budaya dan kekayaan bangsa yang wajib dilestarikan.
0 komentar:
Posting Komentar