Home » » Negeri Ini Krisis Kepemimpinan

Negeri Ini Krisis Kepemimpinan

Written By Unknown on Rabu, 09 April 2014 | 17.01


     Melihat fenomena pemilu akhir-akhir ini, tentunya sangat miris kawan. Banyak di antara kawan-kawan kita yang memilih golput daripada menggunakan hak suaranya. Saya tidak bisa menyalahkan pemikiran ini, karena inilah hasil dari kekecewaan kita kepada pemimpin.
       Namun apabila hal ini dibiarkan, maka akan muncul beberapa masalah baru. Setelah krisis kepercayaan, mungkin akan muncul juga krisis kepemimpinan. Mengapa? Setelah banyaknya oknum pemimpin yang bermasalah, keinginan generasi muda untuk memimpin kemungkinan semakin menurun. Akar masalahynya menurut saya terletak pada kebiasaan masyarakat kita. Apa kebiasaan itu? Menilai orang lain, tanpa mau menilai dirinya sendiri. Mengkritik para pemimpin itu  bagi masyarakat kita pada umumnya itu ‘jago’, namun pada saat mereka diminta maju malah saling mengandalkan.
     Apa dasar saya menyimpulkan hal ini? Pernah suatu hari saya mengadakan simulasi pesta demokrasi di sekolah. Sebutlah pemilihan ketua OSIS. Jumlah calon ketua dan wakilnya berjumlah lima pasang. Pada saat itu saya menyuruh para calon ini untuk memaparkan visi dan misinya untuk menjadi ketua OSIS. Sebagian dari mereka malu-malu memaparkan visi misinya di hadapan seluruh siswa yang pada saat itu dikumpulkan di lapangan upacara. Tak sedikit dari para calon ini menjadi tertawaan teman sebayanya. Entah karena mereka melakukan kesalahan, entah grogi. Namun yang bisa dicatat adalah pembelajaran untuk mereka agar ‘berani  maju’.
    Ketika pemaparan visi misi selesai, seluruh siswa digiring masuk ke kelasnya masing-masing. Tim pemilihan ketua OSIS pun bergegas masuk ke kelas untuk pemungutan suara menggunakan kertas suara yang telah diberikan. Dua jam berlalu. Akhirnya seluruh kertas suara berhasil dikumpulkan.
    Setelah penghitungan suara, ternyata ada kurang lebih 300 dari total 1700 siswa yang tidak memilih. Dikurangi  siswa prakerin empat kelas, berarti sisa 100 siswa yang tidak memberikan hak suaranya. Ada selentingan konon katanya tidak ada dari calon tadi sepertinya yang akan membawa sekolah ke arah yang lebih baik. Saya hanya bisa tersenyum. Miris melihat perilaku mereka seperti ini.
      Ada lagi satu kejadian yang sangat menarik yang membuat saya semakin merasa miris. Dalam satu kertas suara, saya menemukan sebuah tulisan yang bertuliskan “Semua calon itu ga ada yang gua pilih. Mereka bukan tipe gua. Gua pilih nomer 9!”. Saya dan panitia yang lain pun sontak tertawa karena pasangan calon hanya lima pasang, bukan Sembilan. Hal ini ternyata tidak hanya satu. Dari kartu suara yang dikumpulkan, kurang lebih 50 kartu suara seperti ini.
      Dari kejadian itu saya pun berfikir, anak seperti apakah yang menulis seperti ini? Apakah dia seseorang yang memang telah ahli dalam berpidato, mantan pemimpin, atau siapa? Dilihat dari tulisannya saya memiliki anggapan bahwa itu adalah anak laki-laki, karena tulisannya terlihat (mohon maaf) kurang rapi. Sedangkan apabila saya lihat, mayoritas siswa laki-laki di sekolah jangankan untuk memimpin, untuk berbaris saja itu susah sekali. Berpakaian jarang rapi, tatanan rambut yang semerawut, memakai kaos kaki yang tidak sesuai dengan aturan dan sepatu yang kadang berwarna warni. Indah sekali!
      Perilaku siswa di atas menurut saya cerminan masyarakat kita secara umum. Banyak yang pandai, tapi tidak mau melangkah. Banyak yang minta ‘diladeni’ tanpa mau melayani. Kaum ekonomi lemah di Negara ini rata-rata ingin dikasihani tanpa ingin berusaha. Ingin diberikan ikan daripada alat pancingnya. Sungguh fenomna yang miris! Ditambah pula dengan perilaku pemimpin yang tidak amanah. Lengkap sudah penderitaan negeri ini.
     Mungkin berawal dari pendidikan di sekolah, masyarakat dan yang paling utama di lingkungan keluarga, perlu adanya pembenahan terutama dari cara berfikir. Yang harus dicatat, pemimpin itu tidak datang dari langit, tapi dibentuk. Apabila tidak ada pemimpin yang layak, kitalah yang harus menjadi pemimpin yang layak itu!  Jadi pemimpin tidak harus mencalonkan diri sebagai caleg, bupati, atau bahkan presiden, tetapi minimal jadilah pemimpin yang bisa memimpin diri sendiri dan keluarga. Apabila hal ini sudah ditanamkan sejak di bangku sekolah, mungkin kedepannya tidak akan ada lagi seorang laki-laki dinafkahi oleh istrinya. Lebih jauhnya tidak akan ada lagi masyarakat yang hanya pandai menilai, tapi akan muncul masyarakat yang selalu saling mendukung dan mengingatkan kearah kemajuan. Majulah Negeriku, Indonesia!
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar



 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Mojang Jajaka Subang - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger