Melihat fenomena
pemilu akhir-akhir ini, tentunya sangat miris kawan. Banyak di antara
kawan-kawan kita yang memilih golput daripada menggunakan hak suaranya. Saya
tidak bisa menyalahkan pemikiran ini, karena inilah hasil dari kekecewaan kita
kepada pemimpin.
Namun apabila hal ini dibiarkan,
maka akan muncul beberapa masalah baru. Setelah krisis kepercayaan, mungkin
akan muncul juga krisis kepemimpinan. Mengapa? Setelah banyaknya oknum pemimpin
yang bermasalah, keinginan generasi muda untuk memimpin kemungkinan semakin
menurun. Akar masalahynya menurut saya terletak pada kebiasaan masyarakat kita.
Apa kebiasaan itu? Menilai orang lain, tanpa mau menilai dirinya sendiri.
Mengkritik para pemimpin itu bagi
masyarakat kita pada umumnya itu ‘jago’, namun pada saat mereka diminta maju
malah saling mengandalkan.
Apa dasar saya menyimpulkan hal
ini? Pernah suatu hari saya mengadakan simulasi pesta demokrasi di sekolah.
Sebutlah pemilihan ketua OSIS. Jumlah calon ketua dan wakilnya berjumlah lima
pasang. Pada saat itu saya menyuruh para calon ini untuk memaparkan visi dan
misinya untuk menjadi ketua OSIS. Sebagian dari mereka malu-malu memaparkan
visi misinya di hadapan seluruh siswa yang pada saat itu dikumpulkan di
lapangan upacara. Tak sedikit dari para calon ini menjadi tertawaan teman
sebayanya. Entah karena mereka melakukan kesalahan, entah grogi. Namun yang
bisa dicatat adalah pembelajaran untuk mereka agar ‘berani maju’.
Ketika pemaparan visi misi
selesai, seluruh siswa digiring masuk ke kelasnya masing-masing. Tim pemilihan
ketua OSIS pun bergegas masuk ke kelas untuk pemungutan suara menggunakan
kertas suara yang telah diberikan. Dua jam berlalu. Akhirnya seluruh kertas
suara berhasil dikumpulkan.
Setelah penghitungan suara,
ternyata ada kurang lebih 300 dari total 1700 siswa yang tidak memilih. Dikurangi
siswa prakerin empat kelas, berarti sisa
100 siswa yang tidak memberikan hak suaranya. Ada selentingan konon katanya
tidak ada dari calon tadi sepertinya yang akan membawa sekolah ke arah yang
lebih baik. Saya hanya bisa tersenyum. Miris melihat perilaku mereka seperti
ini.
Ada lagi satu kejadian yang
sangat menarik yang membuat saya semakin merasa miris. Dalam satu kertas suara,
saya menemukan sebuah tulisan yang bertuliskan “Semua calon itu ga ada yang gua pilih. Mereka bukan tipe gua. Gua pilih
nomer 9!”. Saya dan panitia yang lain pun sontak tertawa karena pasangan
calon hanya lima pasang, bukan Sembilan. Hal ini ternyata tidak hanya satu.
Dari kartu suara yang dikumpulkan, kurang lebih 50 kartu suara seperti ini.
Dari kejadian itu saya pun berfikir, anak seperti apakah yang menulis
seperti ini? Apakah dia seseorang yang memang telah ahli dalam berpidato,
mantan pemimpin, atau siapa? Dilihat dari tulisannya saya memiliki anggapan
bahwa itu adalah anak laki-laki, karena tulisannya terlihat (mohon maaf) kurang
rapi. Sedangkan apabila saya lihat, mayoritas siswa laki-laki di sekolah
jangankan untuk memimpin, untuk berbaris saja itu susah sekali. Berpakaian
jarang rapi, tatanan rambut yang semerawut, memakai kaos kaki yang tidak sesuai
dengan aturan dan sepatu yang kadang berwarna warni. Indah sekali!
Perilaku siswa di atas menurut
saya cerminan masyarakat kita secara umum. Banyak yang pandai, tapi tidak mau
melangkah. Banyak yang minta ‘diladeni’ tanpa mau melayani. Kaum ekonomi lemah
di Negara ini rata-rata ingin dikasihani tanpa ingin berusaha. Ingin diberikan
ikan daripada alat pancingnya. Sungguh fenomna yang miris! Ditambah pula dengan
perilaku pemimpin yang tidak amanah. Lengkap sudah penderitaan negeri ini.
Mungkin berawal dari pendidikan
di sekolah, masyarakat dan yang paling utama di lingkungan keluarga, perlu
adanya pembenahan terutama dari cara berfikir. Yang harus dicatat, pemimpin itu
tidak datang dari langit, tapi dibentuk. Apabila tidak ada pemimpin yang layak,
kitalah yang harus menjadi pemimpin yang layak itu! Jadi pemimpin tidak harus mencalonkan diri
sebagai caleg, bupati, atau bahkan presiden, tetapi minimal jadilah pemimpin
yang bisa memimpin diri sendiri dan keluarga. Apabila hal ini sudah ditanamkan
sejak di bangku sekolah, mungkin kedepannya tidak akan ada lagi seorang
laki-laki dinafkahi oleh istrinya. Lebih jauhnya tidak akan ada lagi masyarakat
yang hanya pandai menilai, tapi akan muncul masyarakat yang selalu saling
mendukung dan mengingatkan kearah kemajuan. Majulah Negeriku, Indonesia!
0 komentar:
Posting Komentar